Judul Buku :
Lorong Tanpa Cahaya
Pengarang :
Ngarto Februana
Tahun Terbit :
1999, 2000 dan 2013
Nama Penerbit :
Media Pressindo
Cetakan :
Pertama, Juni 1999
Kedua, 2000
Ketiga, Maret 2013 versi ebook oleh
Publishing
Halaman :
186 halaman
Keunggulan :
1. Memberi
nilai yang positif untuk saling membantu dengan sesama – sama manusia dengan
tidak mempermasalahkan dia itu dulu nya siapa.
2.
Banyak
kejadian yang terjadi di kampong pelacuran.
3. Begitu
disayang kan seorang anak pelacur yang terus dihina, padahal semua itu bukan
kesalahan dia yang melainkan kesalahan dari orang tua nya, tapi kenapa anak
yang jadi korban nya.
Kekurangan :
1.
Menggunakan
bahasa yang tidak dapat dimengerti.
2.
Konflik
yang tidak bisa diselesaikan dengan jelas.
Sinopsis :
Wibisono, tokoh utama novel ini, masih terlalu muda untuk
menjadi saksi sekaligus korban kebiadaban: bayi Karti digaruk petugas
ketertiban kota, persis di depan matanya saat si orok lelap di dalam gerobak.
Setiap hari ia dipertontonkan kemesuman, diejek teman-teman sekolah: “Rumahmu
di Sarkem, tempatnya pelacur, ibumu juga lonte ….” Dan, suatu ketika, ia
memergoki ibunya sedang berzina.
Lantas ia minggat, dan ketika dewasa ia kembali ke kampung
mesum itu, lalu jatuh cinta pada Karti. "Salahkah jika aku mencintai
perempuan yang lebih tua dariku, yang punya ikatan kenangan di masa lalu, yang
akhirnya jadi pelacur itu," bisiknya. Karena cintakah jika ia menolong
Karti keluar dari dunia kepelacuran dan menjadi wanita baik-baik?
Penduduk kampung itu mesti digusur, karena di kawasan itu
hendak dibangun mal terbesar di kota itu. Mereka mencoba bertahan dan melakukan
perlawanan meski harus berhadapan dengan pihak perusahaan milik anak pejabat
tinggi itu, juga mesti menghadapi teror dan intimidasi. Lalu, cintanya pada
Karti? Segalanya harus direlakan, seperti ia merelakan kampung cabul itu.
"Selamat tinggal Sosrowijayan, anak-anakku kelak jangan sampai lahir di
tempat seperti itu... sehingga tak perlu menerima ejekan: ''rumahmu di Sarkem,
tempatnya lonte, ibumu juga lonte”.
Sumber: