Kamis, 13 Juni 2013

RESENSI BUKU NGARTO FEBRUANA

Judul Buku                   : Lorong Tanpa Cahaya
Pengarang                   : Ngarto Februana
Tahun Terbit               : 1999, 2000 dan 2013
Nama Penerbit            : Media Pressindo
Cetakan                       : Pertama, Juni 1999
                                      Kedua, 2000
                                      Ketiga, Maret 2013 versi ebook oleh Publishing
Halaman                     : 186 halaman

Keunggulan :
1. Memberi nilai yang positif untuk saling membantu dengan sesama – sama manusia dengan tidak mempermasalahkan dia itu dulu nya siapa.
2.      Banyak kejadian yang terjadi di kampong pelacuran.
3.  Begitu disayang kan seorang anak pelacur yang terus dihina, padahal semua itu bukan kesalahan dia yang melainkan kesalahan dari orang tua nya, tapi kenapa anak yang jadi korban nya.

Kekurangan :
1.      Menggunakan bahasa yang tidak dapat dimengerti.
2.      Konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan jelas.

Sinopsis :
Wibisono, tokoh utama novel ini, masih terlalu muda untuk menjadi saksi sekaligus korban kebiadaban: bayi Karti digaruk petugas ketertiban kota, persis di depan matanya saat si orok lelap di dalam gerobak. Setiap hari ia dipertontonkan kemesuman, diejek teman-teman sekolah: “Rumahmu di Sarkem, tempatnya pelacur, ibumu juga lonte ….” Dan, suatu ketika, ia memergoki ibunya sedang berzina.

Lantas ia minggat, dan ketika dewasa ia kembali ke kampung mesum itu, lalu jatuh cinta pada Karti. "Salahkah jika aku mencintai perempuan yang lebih tua dariku, yang punya ikatan kenangan di masa lalu, yang akhirnya jadi pelacur itu," bisiknya. Karena cintakah jika ia menolong Karti keluar dari dunia kepelacuran dan menjadi wanita baik-baik?

Penduduk kampung itu mesti digusur, karena di kawasan itu hendak dibangun mal terbesar di kota itu. Mereka mencoba bertahan dan melakukan perlawanan meski harus berhadapan dengan pihak perusahaan milik anak pejabat tinggi itu, juga mesti menghadapi teror dan intimidasi. Lalu, cintanya pada Karti? Segalanya harus direlakan, seperti ia merelakan kampung cabul itu. "Selamat tinggal Sosrowijayan, anak-anakku kelak jangan sampai lahir di tempat seperti itu... sehingga tak perlu menerima ejekan: ''rumahmu di Sarkem, tempatnya lonte, ibumu juga lonte”.

Sumber: